Hell.
3 min readOct 23, 2023

Cuaca malam ini cukup lembab. Membuat Levaen merasa sedikit gerah meskipun air conditioner di ruangannya selalu menyala. Levaen baru saja keluar dari kamar mandinya dengan jubah mandi yang masih menempel dengan rapi di tubuhnya. Ini kali ketiga ia mandi hari ini.

Levaen berjalan ke meja kerjanya sembari menggosokkan handuk ke kepalanya; mencoba untuk mengeringkan rambutnya. Ia membuka laptop; memeriksa kotak email miliknya. Mungkin saja ada pesan penting, pikirnya. Sebuah email dari salah satu teman dekatnya, Giann, menyita perhatiannya. Apalagi dengan subjek yang cukup panjang diatasnya. Khas sekali dari seorang Giann Maistre.

"Levaen, tolong jangan bunuh adik kecilku. Kau tau aku sangat mencintainya, bukan? Meski hanya sedikit, tolong berikan kemurahan hati padanya dari lubuk hatimu yang terdalam. Kuharap masih ada kebaikan di dalam hatimu yang sedingin lantai marmer kediaman Maistre itu."

Hanya dari subjeknya saja, Levaen sudah merasa sangat malas untuk lanjut membaca sisa dari omong kosong- ah, maksudnya pesan yang ditulis Giann. Namun mengingat pertemanan mereka selama ini, Levaen memaksakan diri untuk membacanya.

Butuh waktu sekitar tiga menit untuknya membaca seisi pesan tersebut. Ia berniat membuat cerpen atau apa? Itulah kalimat yang saat itu terlintas di pikiran Levaen setelah ia selesai membaca pesan tersebut.

Isinya sangat berbelit-belit. Namun kesimpulannya hanya satu; sebuah permintaan agar Levaen memberikan kesabaran lebih dan tak membunuh adiknya, Cain. Apa dia pikir aku ini seorang psikopat?

"Tak lama setelah kau kembali dari kediaman Winter, Vincent dengan tergesa-gesa datang menemuiku. Wajahnya terlihat sangat panik. Ia berkata bahwa ia khawatir dengan keselamatan Cain sesaat setelah ia melihatmu menggumamkan kata-kata menyeramkan seperti 'Membunuh itu dilarang.' atau 'Giann akan sedih jika adiknya tiba-tiba lenyap.' Sesuatu seperti itu.

Aku tau adikku memang sedikit menyebalkan. Namun ia bersikap seperti itu karena ia menyukaimu dan merasa nyaman berada di dekatmu. Ini juga kesalahanku karena terlalu sibuk dan tak memiliki waktu untuk bermain dengannya. Jadi kumohon, tolong maafkan sikap kekanakannya."

Jika benar begitu, bukankah lebih baik ia membenciku sekalian? Pikirnya.

Levaen menghela nafas, bersandar pada kursi kerjanya sembari menyisir rambutnya dengan jari-jarinya; merasa sedikit frustasi karena harus menjadi guru privat dari orang menyebalkan seperti Cain.

Benar. Sudah lebih dari sebulan ia menjadi guru privat Cain. Biasanya mereka melakukan pengajaran lewat Zoom karena Cain sedang berada di luar kota. Namun beberapa hari yang lalu, Cain kembali ke kediaman Maistre. Dan itu juga menjadi kali pertama ia mengajar Cain secara tatap muka.

Bisakah kalian menebak kalimat apa yang pertama kali bocah itu katakan pada Levaen saat mereka bertemu?

"Selamat pagi, Prof. Ashcroft. Selamat datang di kediaman Winter. Senang akhirnya bisa melihatmu secara langsung. Rasanya tak sabar untuk segera melihat rasa bangga di wajahmu sesaat setelah kau melihatku menyelesaikan tugasku. Melihatnya dari layar selama ini tak terlalu memuaskan."

Bangga apanya. Yang kau lakukan selama ini hanya membuat tekanan darahku naik dengan segala tingkah laku anehmu yang selalu mencoba membuatku kehilangan kesabaran.

Jujur saja, baru kali ini Levaen bertemu murid seperti Cain. Dan mulai saat itu juga, Levaen memutuskan untuk memasukkan tipe orang seperti Cain sebagai tipe orang yang sangat-sangat ia benci.

Dan hari ini, untuk pertama kalinya, Levaen berterima kasih pada ayahnya karena telah mewariskan rambut silver khas keluarga Haspran pada dirinya. Jika tidak, ia akan kerepotan untuk mengganti warna rambutnya yang memutih karena stres berlebihan akibat perilaku abnormal Cain.

Hell.

ㅤㅤ ㏒ . .﹙𝚊𝚍𝚓𝚞𝚍𝚒𝚌𝚊𝚝𝚘𝚛﹚ 𝟸𝟽﹕𝟶𝟿ㅤㅤㅤㅤ Passage 00 ⸻ 𝗖𝗢𝗗𝗘𝗡𝗔𝗠𝗘 : 𝗫𝗫𝗫