Hell.
2 min readOct 23, 2023

Gema kicauan burung-burung yang bertengger pada ranting pohon di kebun kecil milik Levaen bergantian mengisi kekosongan pagi yang sunyi.

Sekarang sudah pukul delapan pagi. Namun sang pemilik rumah masih belum beranjak dari kasurnya; terlalu nyaman bergulat dengan selimut tebalnya. Begitulah Levaen. Ia tak terbiasa untuk bangun pagi. Hal itu juga yang menjadi alasan dibalik jam kerjanya yang selalu mengambil kelas siang ataupun kelas malam untuk mengajar di Stellis University.

Namun hari ini, untuk pertama kalinya dalam beberapa tahun setelah kepindahannya ke Stellis, ia harus bangun sepagi ini. Pasalnya, sejak tiga puluh menit yang lalu, telepon rumahnya terus saja berdering.

"Bocah itu…."

Dengan kesal, ia menyibak selimutnya dan melangkah dengan malas untuk mengangkat telepon tersebut,

"Selamat pagi, Prof. Ashcroft!" suara penuh semangat dari ujung telepon berhasil membuat suasana hatinya semakin hancur lebur.

Bebal. Anak ini benar-benar bebal.

"Selamat pagi, Cain Maistre. Bukankah saya sudah mengatakan pada anda bahwa saya tidak dapat mengajar di pagi hari? Apakah anda belum memeriksa email yang saya kirim tiga hari yang lalu?"

Levaen menyelesaikan kalimatnya dalam satu tarikan nafas, lalu memijat pangkal hidungnya; mencoba menenangkan dirinya sendiri sebelum ia membuat sebuah kesalahan seperti memakinya atau hal-hal sejenisnya. Itu akan membuat citranya menjadi buruk atau lebih parahnya, akan berakhir dengan hancurnya hubungan antara dirinya dan PAX Group.

"Ah, tentang itu…" Cain terdiam sejenak, sebelum kembali melanjutkan kalimatnya. Sebuah kalimat yang berhasil membuat Levaen yang memiliki kesabaran setinggi gunung Everest hampir saja lepas kendali,

"Aku membacanya. Tapi seperti yang kau tahu, aku ingin menghabiskan waktu dengan Giann siang nanti. Jadi kelas kita harus dilaksanakan di pagi hari."

Kalimat tanpa rasa bersalah yang diiringi dengan tawa kecil dari seberang telepon berhasil membuat tekanan darahnya naik. Ia meremas gorden jendela kamarnya, menatap keluar jendela dengan senyuman alami yang masih tersungging di bibirnya. Namun dibandingkan dengan senyuman bahagia, itu lebih seperti senyuman dari seseorang yang siap membunuh musuh bebuyutannya saat itu juga.

"Baiklah, saya akan tiba pukul sepuluh nanti. Saya harap saat saya tiba, kita dapat langsung memulai pelajaran."

"Okaaay! See ya, Prof. Ashcroft!"

Sesaat setelah telepon dimatikan, Levaen menghela nafas panjang, mengusak rambutnya dengan penuh rasa frustasi. Lagi. Ia mencoba menenangkan dirinya sekali lagi.

"Aku tak tau perlakuan berbeda seperti apa yang diberikan kepala keluarga Maistre dalam membesarkan kedua anaknya hingga mereka berdua memiliki sifat yang begitu bertolak belakang."

"...."

"Haruskah aku memasukkannya ke dalam topik research ku selanjutnya?"

Hell.

ㅤㅤ ㏒ . .﹙𝚊𝚍𝚓𝚞𝚍𝚒𝚌𝚊𝚝𝚘𝚛﹚ 𝟸𝟽﹕𝟶𝟿ㅤㅤㅤㅤ Passage 00 ⸻ 𝗖𝗢𝗗𝗘𝗡𝗔𝗠𝗘 : 𝗫𝗫𝗫